Harajuku sebenarnya berasal dari nama sebuah area di seputar Stasiun JR Harajuku, distrik Shibuya, Tokyo. Kawasan ini lebih dikenal sebagai tempat anak muda berkumpul dengan lokasi menyebar yang mencakup Kuil Meiji, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita, departemen store Laforet serta Gimnasium Nasional Yoyogi. Lokasinya mencakup sekitar Kuil Meiji, Taman Yoyogi, pusat perbelanjaan Jalan Takeshita (Takeshita-dōri), department store Laforet, dan Gimnasium Nasional Yoyogi. Pada era 80-an, secara embrional Harajuku didentikkan sebagai area di mana subkultur Takeno-zoku berkembang.
Maka muncullah istilah Harajuku di Indonesia. Harajuku masuk ke Indonesia, melalui hal-hal seperti musik, anime atau manga lebih dahulu masuk ke Indonesia sekitar 15 tahun lalu. Nyaris bersamaan dengan “invasi” musik Jepang di Indonesia, gaya Harajuku pun melanda anak-anak muda di kota-kota besar, Jakarta, Bandung, dan Surabaya.
Saat ini banyak acara-acara yang berbau kebudayaan jepang sering diadakan, dan juga banyak sekolah dan perguruan tinggi membuat suatu kegiatan yang bersifat ekstrakulikuler. Umumnya para anggotanya berkumpul di tempat mereka masing-masing atau membuat suatu komunitas untuk menyalurkan hobi-hobi mereka. Hal ini pun nampaknya makin didukung dengan berbagai pelaksanaan event penyaluran hobi mereka. Seperti salah satu organisasi komunitas Jepang yang mewadahi budaya Harajuku di Indonesia, Japan Lovers (JL).
Komunitas ini, mewadahi para anggotanya yang mayoritas bergaya harajuku. Dalam wawancara via telepon, Taufan Bakti Pramudya yang menjabat sebagai ketua Japan Lovers Indonesia dalam wawancara mengenai “Harajuku di Indonesia” mengatakan, “Perkembangan Harajuku sendiri saat ini sudah lebih enaklah, yaitu gak terlalu menggunakan dengan baju-baju yang terlalu kasual, tapi mereka lebih menonjolkan gayanya sendiri, jika di Jepang sendiri mungkin sudah sangat berkembang, terbukti dengan banyak munculnya para desainer muda yang berani menggali kreatifitas mereka dalam membuat busana-busana seperti Lolita, maupun pakaian-pakaian yang lainnya yang lainnya dan perkembangannya sendiri juga pesat banget, sedangkan Harajuku di Indonesia sendiri sebenarnya makin lama makin berkembang pesat, hal ini terbukti ditandai dengan banyaknya antusias dari masyarakat Indonesia khususnya kaum remaja dalam berharajuku”.
Di Indonesia sendiri menurut Senpai Crab (panggilan akrab anak-anak JL), “Harajuku sudah sangat berkembang banget saat ini, dan biasanya di Indonesia sendiri Harajukunya lebih kepada Visual Kei (lebih kepada hal-hal kasual), dan jarang sekali yang menggunakan style J-ghotic (gaya serba hitam – merah ala Jepang)”. Dan menurutnya para pengguna Harajuku biasanya, mereka bergaya Harajuku karena mereka ingin mengekspresikan diri mereka secara maksimal bukan karena mereka tidak percaya diri.
Dalam komunitas JL sendiri sang ketua menuturkan bahwa Harajuku yang yang diusung para anggotanya lebih variatif, tidak hanya ghotic, Lolita (dandanan seperti gadis-gadis imut), dan juga cosplay (kostum player dari para tokoh-tokoh animasi Jepang). Dalam komunitas ini tidak ada komitmen resmi mengenai gaya Harajuku seperti yang diungkapkan sang ketua JL dalam wawancara “Kalau anak JL sendiri gak harus berharajuku juga sih, banyak dari mereka yang gabung karena memiliki kesamaan tentang, baik itu dalam musik, manga, dan budaya Jepang yang lain. Dan bagi yang tidak berharajuku mungkin lebih tampil dengan menggunakan Yukata (baju adat jepang) pada event-event tertentu”.
Di balik semua hal tersebut ternyata Harajuku sendiri memiliki dampak yang negatif. Menurut Senpai Crab “Sebenarnya dampak Harajuku sendiri pasti ada, seperti di Jepang sendirikan ada yang kita kenal dengan Yawi dan Juri (homo dan lesbi), kan ada juga jenis harajuku yang pria berpakaian sebagai wanita, hal ini mungkin dapat berdampak pada kehidupan aslinya yaitu mereka merubah perilaku mereka menjadi berbanding terbalik, dan itu adalah dampak negatifnya”. Tetapi ada juga dampak positifnya yakni “para pengguna harajuku dapat mengekspresikan diri mereka sendiri menjadi lebih” ujarnya.
Pola Komunikasi Organisasi
pola komunikasi organisasi ini yaitu dengan menggunakan forum di beberapa situs jejaring sosial. Sebut saja Facebook, Friendster, Liveconnector, My space, Plurk, Twitter dan yang lainnya. Mereka menggunkan group pada situs-situs jejaring sosial tersebut. Komunitas bersifat nasional dan regional yang setiap cabangnya dipimpin oleh seorang ketua. Namun organisasi komunitas ini hanya mencakup beberapa pulau besar yang ada di Indonesia seperti Sumatera, Jawa, Kalimantan, dan Sulawesi. Dalam hal berkomunikasi organisasi ini dapat dikatakan sangat efektif, karena pergerakkannya yang mobile, maka para anggotanya dimanjakan dengan berbagai topik dalam forum diskusinya serta info-info mengenai hal-hal yang berbau Jepang, dan juga mengenai info-info acara atau event-event Jepang yang akan diadakan. Di akhir perbincangan kami, ia juga menuturkan bahwa Harajuku itu sebenarnya menarik, dan ia juga mengundang kepada para pembaca sekalian bagi yang ingin bergabung, dapat menghubungi forum Japan Lovers di beberapa situs jejaring sosial, atau bisa untuk datang langsung ke camp Japan Lovers di Kawasan Cijantung, Jakarta Timur.
Dalam kesempatan ini Senpai Crab mengungkapkan “Bagi para teman-teman yang memiliki kesulitan dalam berharajuku, komunitas JL memiliki suatu divisi khusus yang dinamakan divisi cosu (kostum). Bagi para anggotanya yang masih bingung harus bergaya Harajuku jenis apa yang pantas pada dirinya dapat menghubungi divisi ini”, tutur sang ketua. Bagi rekan-rekan yang ingin berharajuku, Senpai Crab memberikan sedikit saran “buat rekan-rekan lain yang baru ingin mencoba Harajuku, jangan takut akan salah kostum, percaya diri saja dengan apa yang sudah kalian lakuin, jangan takut untuk mengekspresikan diri kalian, karena Harajuku itu bebas dan dalam Harajuku itu tidak dibatasai dengan hal apapun.”
0 komentar:
Posting Komentar